Penulis - Muhtadi

Ibadah penyembelihan hewan kurban menjadi salah satu ritual penting bagi perayaan Idul Adha. Secara bahasa kata “‘id” bermakna kembalinya nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya. Sedang kata “adha” berkaitan dengan arti kurban (udhiyah) atau penyembelihan hewan yang dikorbankan sebagai salah satu bagian dari sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT. Istilah adha ini dekat dengan istilah nahr sebagaimana disebut dalam surat al-Kautsar ayat ke-2 “fa shalli li rabbika wanhar – maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah”. Karena itulah Idul Adha juga dikenal dengan ‘idun-nahr atau Hari Raya Idul Kurban.

Momen Hari Raya Idul Adha juga dikenal dengan beberapa peristiwa besar lainnya, di antaranya ibadah haji di tanah suci Makkah sebagai bagian dari napak tilas perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang menjadi inspirasi bagi perjalanan hidup umat manusia pada umumnya. Oleh karena itu, ia dikenal juga dengan istilah Hari Raya Haji. Kisah hidup Nabi Ibrahim ’alaihissalam di balik perayaan Idul Adha ini sarat dengan pesan-pesan pendidikan spiritual, sosial dan keluarga sehingga perlu diketahui oleh umat Islam.

Di dalam khazanah budaya umat Islam, nabi Ibrahim dikenal sebagai khalilullah (kekasih Allah). Status Nabi Ibrahim sebagai al-khalil ini pernah disangsikan oleh malaikat. “Wahai Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Mu, padahal ia disibukkan dengan urusan kekayaan dan keluarganya?” , tanya malaikat. Demi menjawab rasa penasaran tersebut, Allah mempersilahkan para malaikat menguji keimanan dan ketaqwaan Nabi Ibrahim.

Disebutkan dalam kitab Misykatul Anwar, konon kekayaan Nabi Ibrahim disebut dengan memiliki ribuan hewan ternak, yaitu 1000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain menyebutkan beliau memiliki 12.000 ekor hewan ternak. Malaikat yang menyerupai manusia datang kepada Ibrahim lalu mencoba meminta beberapa ekor hewan yang dimilikinya. Dengan mudah dan enteng nabi Ibrahim memberikannya. Lalu ditanyakanlah mengapa hewan-hewan itu diberikan begitu saja tanpa beban, padahal itu miliknya. Dijawab oleh nabi Ibrahim, “Walaupun hewan-hewan tersebut adalah milikku, tapi sebenarnya semua itu hanyalah milik Allah. Jika Allah meminta kembali, maka akan aku serahkan semuanya. Jangankan hewan ternak, bila Allah meminta anakku pun niscaya akan kuserahkan juga”.

Dalam kitab tafsirnya, Al-Quranul Adhim, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa pernyataan Nabi Ibrahim itulah dijadikan sebagai bahan ujian keimanan, ketaqwaan dan kedekatannya dengan Tuhan. Anak yang selama ini diimpikan, diminta oleh Tuhan untuk dikurbankan dan disembelih dengan tangannya sendiri sebagai persembahan kepada Tuhan. Permintaan Tuhan ini disebut dalam surat As-Shhaffat ayat ke-102 melalui proses mimpi sebagai salah satu cara komunikasi Tuhan kepada para Nabi-Nya. Namun, ada pula beberapa kisah lain yang kemudian dijadikan sebab mengapa Ibrahim alaihissalam diminta merelakan anaknya untuk diserahkan kembali kepada Tuhan dengan cara disembelih.

Pernah suatu waktu Allah SWT memperlihatkan kepada nabi Ibrahim alam malakut langit dan bumi hingga diperlihatkan seorang yang durhaka dengan perbuatan kejinya. Nabi Ibrahim merespon kejadian tersebut dengan doanya, “Wahai Tuhan, binasakanlah ia. bagaimana mungkin ia makan rizki-Mu, berjalan di atas bumi-Mu, tapi ia mendurhakai dan melanggar perintah-Mu”.

Ada dua kelompok riwayat mengenai sikap Allah terhadap permintaan nabi Ibrahim. Kelompok pertama menyatakan Allah keberatan dengan permintaan nabi Ibrahim dengan ungkapan, “Dia itu adalah ciptaanKu. Aku lebih sayang kepada hamba-hambaKu dibanding kau terhadap mereka. Mereka yang kau kecam mungkin akan bertobat dan berharap ampunan-Ku.”

Riwayat lain menyebutkan bahwa Allah mengabulkan permintaan tersebut hingga sampai beberapa orang durhaka yang binasa, sampai pada satu waktu Allah menegurnya. “Ibrahim, doamu itu Kukabulkan. Tapi itu membuat kehancuran mereka, padahal mereka masih memiliki tiga kemungkinan, pertama, mereka bertobat dan Aku menerimanya; kedua, mereka mungkin memiliki keturunan-keturunan yang nantinya akan bertasbih memuji-Ku; ketiga, mereka akan mati pada waktunya yang bisa saja Aku maafkan atau Aku siksa.”

Kisah tersebut disebut sebagai penyebab turunnya perintah penyembelihan anak nabi Ibrahim yang disayanginya seperti diceritakan dalam Surat As-Shaffat ayat ke-102.
“Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu! Dia (Ismail) menjawab, Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.”

Nabi Ibrahim alaihissalam memenuhi perintah Allah SWT dengan menanggung beban kasih sayang terhadap anaknya. Ketika akan melakukan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ibrahim AS sempat berkata, “Tuhanku, inilah anakku, buah hatiku, seorang manusia yang paling kukasihi.” Ketika itu juga Nabi Ibrahim alaihissalam mendengar suara, “Ingatkah kau Ibrahim, suatu malam kau meminta pembinasaan salah seorang hamba-Ku? Apakah kau tidak tahu bahwa Aku menyayangi mereka sebagaimana kau mencintai anakmu? JIka kau meminta-Ku untuk membinasakan mereka satu per satu, maka Aku pun akan memintamu menyembelih anakmu.” Singkat cerita, Allah ganti sosok anak tersebut dengan seekor kambing sembelihan yang besar (Ash-Shaffat:107).

Dengan kejadian tersebut Nabi Ibrahim memiliki perspektif baru terhadap manusia, meskipun mereka durhaka. Hal ini diperlihatkan dalam Al-Quran pada surat Ibrahim ayat ke-36, “Ya Tuhan, berhala-berhala itu telah menyesatkan banyak dari manusia. Barangsiapa mengikutiku, maka orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa mendurhakaiku, maka Engkau Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Artinya, beliau tidak lagi mengutuki mereka dan mengharap kebinasaan mereka. Sosok Ibrahim dengan berbagai ujian yang dialami semasa hidupnya menjadikan beliau pribadi yang lembut dan penuh kasih. Sehingga pernah Nabi Muhammad SAW menyetarakan sikap lembut dan kasih Abu Bakar dengan sifat Nabi Ibrahim alaihissalam.

Latar belakang kisah kurban di atas begitu sarat dengan momen-momen kasih sayang. Bagaimana Allah begitu sayang kepada para makhluk-Nya, meskipun nyata-nyata mereka durhaka. Apalagi terhadap para hamba-hamba-Nya yang taat. Nabi Ibrahim begitu sayang kepada keluarganya, sebagaimana ditunjukkan dalam kalimat-kalimat penuh kasih dalam surat Ash-Shaffat ayat ke-102. Ismail pun menunjukkan kasih sayangnya kepada ayahnya dengan kalimat-kalimat menyentuh untuk memenuhi perintah Allah SWT. Bahkan, pesan kasih sayang ini pun dijadikan salah satu bagian dari proses penyembelihan hewan kurban yang dilakukan dengan tanpa menyakiti atau menyiksa.

Kasih sayang ini tercipta dikarenakan hadirnya rasa ikhlas dan saling percaya. Bayangkan jika sang anak curiga dengan ayahnya, atau sang ayah meragukan anaknya. Ketulusan dan keikhlasan inilah yang melahirkan rasa kasih dan sayang. Tentu agama juga menjaga ketulusan, keikhlasan, dan kasih sayang ini dalam aturan-aturan fiqh. Ada norma-norma yang juga perlu dijaga. Itulah mengapa ritual kurban dengan penyembelihan hewan kurban tetap dilestarikan sebagai seperangkat aturan tanpa menghilangkan esensi (ruh) dari pelaksanaan aturan tersebut.

Momen kasih sayang berikutnya menyebar lebih jauh dan lebih luas. Daging-daging dari hewan kurban dibagikan secara merata kepada orang yang berkurban dan kelurganya, para tetangga dan masyarakat sekitar, dan mereka yang tergolong fakir dan miskin. Umat Islam seluruh dunia bertakbir selama beberapa hari seusai shalat lima waktu dimulai pada malam idul Adha sebagai bagian dari pesan kasih sayang tersebut. Maha Besar Allah, tiada Tuhan selain Allah, Maha Besar Allah dan bagi-Nya segala pujian dan kemuliaan.